Polri dapat menjadi penasehat hukum sesuai dengan Perkap No. 7 Tahun 2005, namun pada kenyataannya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Mohon penjelasannya, apakah anggota Polri dapat bertindak sebagai penasehat hukum untuk kasus peradilan perdata/pidana yang melibatkan anggota Polri?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Legalitas Anggota Polri Sebagai Penasehat Hukum yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pernah dipublikasikan padaSenin, 18 Maret 2013.
Dalam konteks pertanyaan Anda, yang bertindak sebagai penasihat hukum adalah anggota Polri untuk kasus peradilan perdata/pidana yang melibatkan anggota Polri yang lainnya. Memang benar bahwa anggota Polri dapat bertindak sebagai penasihat hukum untuk suatu perkara yang melibatkan anggota Polri lainnya.
Yang disebut Penasihat Hukum/Kuasa Hukum/Pendamping adalah Pegawai Negeri pada Polri yang mendapat perintah/tugas atau kuasa dari Pimpinan Polri untuk memberikan bantuan hukum.
Anggota Polridan/atau Pegawai Negeri Sipil Polri bertindak sebagai Penasihat Hukum/Kuasa Hukum/Pendamping berdasarkan surat perintah dari pimpinan Polri yang berwenang.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia ("Polri"), anggota Polri yang berhadapan dengan masalah hukum memang berhak mendapatkan bantuan hukum. Hal ini berdasarkan Perkapolri 2/2017.
Bantuan Hukum adalah segala usaha, upaya, kegiatan dalam rangka membantu menyelesaikan permasalahan hukum melalui peradilan maupun di luar peradilan.[1]
Sedangkan yang disebut Penasihat Hukum/Kuasa Hukum/Pendamping adalah Pegawai Negeri pada Polri yang mendapat perintah/tugas atau kuasa dari Pimpinan Polri untuk memberikan bantuan hukum.[3]
Dalam konteks pertanyaan Anda, yang bertindak sebagai penasihat hukum adalah anggota Polri untuk kasus peradilan perdata/pidana yang melibatkan anggota Polri lainnya.
Jadi, memang benar bahwa anggota Polri dapat bertindak sebagai penasihat hukum untuk suatu perkara. Perkara-perkara yang bisa diberikan bantuan hukum antara lain yaitu:[4]
a.perkara Perdata;
b.perkara Pidana;
c.perkara Praperadilan;
d.perkara di Pengadilan Agama;
e.perkara Tata Usaha Negara;
f.perkara Hak Asasi Manusia;
g.perkara pelanggaran disiplin dan Kode Etik.
Untuk diketahui, dalam memberikan bantuan hukum pada perkara pidana pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan/atau semua tingkat peradilan, Penasihat Hukum/Kuasa Hukum tersebut berlatar belakang Sarjana Hukum.[5] Begitu pula Pegawai Negeri pada Polri sebagai Pendamping pada sidang Komisi Kode Etik Polri berlatar belakang Sarjana Hukum dan/atau Sarjana Ilmu Kepolisian.[6]
Pelaksanaan Bantuan Hukum oleh Anggota Polri
Seperti yang kami sebutkan di atas, yang berhak mendapat Bantuan Hukum tidak hanya pegawai negeri pada Polri saja, tetapi juga Keluarga Besar Polri yang meliputi: keluarga pegawai negeri pada Polri, purnawirawan Polri, pensiunan Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) Polri, wredatama, warakawuri, duda/janda dari anggota Polri/PNS Polri.[7]
Bantuan Hukum menjadi tanggung jawab Kepala Divisi Hukum Polri/Kepala Bidang Hukum Kepolisian Daerah.[8] Pelaksanaan Bantuan Hukum dilaksanakan oleh:[9]
a.anggota Polridan/atau Pegawai Negeri Sipil Polri yang bertindak sebagai Penasihat Hukum/Kuasa Hukum/Pendamping berdasarkan surat perintah dari pimpinan Polri yang berwenang; dan
b.bagian penerapan hukum dalam bentuk klarifikasi, kajian hukum, memberikan pendapat dan saran hukum secara yuridis terhadap tindak pidana umum, tindak pidana khusus, tindak pidana tertentu, hak asasi manusia, kode etik disiplin dan institusi yang memerlukan.
Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Polri Bertentangan dengan UU Advokat?
Anda kemudian menanyakan, apakah pemberian bantuan hukum di lingkungan Polri dimana anggota Polri menjadi kuasa hukum bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat(“UU Advokat”)? Menurut Pasal 31 UU Advokat, setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp50 juta. Akan tetapi, ketentuan pasal ini telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 Tahun 2004.
Jadi, anggota Polri dan/atau PNS Polri dapat menjadi kuasa hukum untuk mendampingi anggota Polri yang berhadapan dengan perkara hukum baik perkara pidana maupun perkara perdata. Mengenai hal ini Anda dapat juga membaca artikel Imam Sayuti: Penegak Hukum dari Polda Metro Jaya