9 Hal yang Perlu Dimiliki Penerjemah dalam Penerjemahan Dokumen Hukum
Potret Kamus Hukum Indonesia

9 Hal yang Perlu Dimiliki Penerjemah dalam Penerjemahan Dokumen Hukum

Firma hukum di kota-kota besar tak hanya diisi advokat, tetapi juga tenaga pendukung seperti penerjemah. Ada regulasi terbaru yang diterbitkan pemerintah.

Muhammad Yasin/Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
9 Hal yang Perlu Dimiliki Penerjemah dalam Penerjemahan Dokumen Hukum
Hukumonline

Good contract drafting is good writing”. Begitulah pesan Ari Bessendorf, seorang foreign legal consultant, saat sesi kelas bahasa Inggris yang diselenggarakan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), 14 Maret 2019. Dalam menyusun suatu kontrak untuk klien, para pengacara dari firma hukum perlu memahami benar kata, istilah, atau diksi yang layak dipergunakan dalam setiap klausula. Gunakanlah kata-kata yang spesifik, bahasa yang konkrit, dan bukan kata-kata yang tak jelas (unnecessary words).

 

Seorang penyusun kontrak harus mengungkapkan jelas apa yang dimaksudkan dalam kalimat kontrak. Klien meminta bantuan lawyer justru untuk memberikan nasihat dan analisis hukum yang jelas. “Don’t hide your opinion through wishy-washy language”, begitu tips yang diberikan Ari kepada puluhan pengacara yang hadir pada kelas bahasa Inggris Peradi itu.

 

Untuk dapat menyusun kontrak dalam bahasa Inggris, seperti disampaikan Ari, advokat Indonesia tak hanya perlu pintar memilih bahasa hukum yang baik, tetapi juga memahami bahasa yang dipakai dalam kontrak. Dengan kata lain, menguasai bahasa Inggris merupakan prasyarat untuk dapat menyusun kontrak berbahasa Inggris yang baik.

 

Keahlian linguistik seorang lawyer dalam menyusun kontrak internasional seperti disinggung Ari Bessendorf tak jauh beda dengan seorang penerjemah dokumen-dokumen hukum dan penerjemah perundang-undangan. Menurut Ketua Umum Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI), Hananto Sudharto, seorang penerjemah dokumen hukum harus memiliki 9 hal.

 

Baca juga:

 

Pertama, ya itu tadi, menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran dengan sangat baik (utamanya membaca dan menulis). Dalam lalu lintas hukum bisnis yang semakin berkembang, yang dibutuhkan saat ini bukan hanya penerjemah dokumen hukum berbahasa Inggris, tetapi juga Arab, China, Korea, dan Jepang. Penguasaan bahasa sumber tersebut jelas dibutuhkan.

 

Kedua, mampu menghasilkan terjemahan yang akurat, jelas dan wajar dengan menggunakan kosakata dan gaya bahasa formal dan legal yang sesuai untuk dokumen hukum yang sedang diterjemahkan. Dalam konteks ini, pemahaman tentang istilah-istilah hukum yang dipakai dan padanannya dalam bahasa Indonesia, atau sebaliknya, sangat penting. Misalnya, kata factoring yang disepadankan dengan ‘anjak piutang’ dalam bahasa Indonesia; dan franchise yang diterjemahkan sebagai waralaba. Dalam hukum ekonomi syariah ada beberapa istilah yang berasal dari bahasa Arab dan perlu dipahami.

 

Ketiga, memiliki pengetahuan latar belakang hukum memadai yang terkait dengan dokumen yang sedang diterjemahkan. Sedikit banyaknya seorang penerjemah perlu memahami sistem hukum negara yang dokumen hukumnya diterjemahkan. Jika tak paham sama sekali, penerjemah sangat mungkin menerjemahkan high court dalam sistem hukum Inggris sebagai Pengadilan Tinggi di Indonesia. Penerjemahan demikian dapat menyesatkan klien.

 

Keempat, memiliki pengetahuan latar belakang teknis yang memadai terkait dengan dokumen yang sedang diterjemahkan (ekonomi, politik, hukum, teknis dan lain-lain). Prasyarat ini penting untuk memahami konteks penerbitan dokumen yang akan diterjemahkan.

 

Kelima, memiliki pengetahuan dan mampu menerapkan teknis dan strategi penerjemahan. Keenam, mampu melakukan riset mandiri untuk mencari rujukan atau sumber referensi pengetahuan baik daring (dalam jaringan) maupun luring dalam menghasilkan terjemahan yang akurat, jelas, dan wajar. Ketujuh, terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan di bidang-bidang materi yang diterjemahkan melalui pelatihan, seminar, konferensi baik skala nasional maupun internasional.

 

Kedelapan, perlu bergabung dengan organisasi penerjemah dan profesi lainnya untuk menambah, memperkuat dan memperluas jejaring professional. Terakhir, kesembilan, sebagai nilai tambah, memahami penggunaan alat bantu penerjemahan untuk membantu penerjamah terkait konsistensi istilah.

 

Baca juga:

 

Peran Penerjemah

Dalam perkembangan hukum Indonesia, peran para penerjemah dan interpreter tak bisa dianggap sepele. Para penerjemah dibutuhkan untuk menerjemahkan dokumen-dokumen hukum yang semakin beragam di tengah lalu lintas hubungan antarnegara. Demikian pula, para penerjemah dokumen-dokumen historis yang berkaitan dengan hukum pada masa lalu Indonesia. Ada sejumlah prasasti dan kitab tradisional masyarakat zaman dulu yang ternyata mengandung nilai-nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat.

 

Apalagi, wilayah Indonesia pernah diduduki oleh Belanda, Jepang, dan berinteraksi dengan Portugis. Hukum yang berlaku di Indonesia terutama banyak dipengaruhi Belanda dan menggunakan bahasa Belanda. Mau tidak mau dokumen perundang-undangan itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, KUH Pidana, KUH Perdata, dan HIR/Rbg –sekadar memberi contoh—tak punya terjemahan resmi meskipun terjemahan yang ada tetap diakui dan dipergunakan oleh komunitas hukum.

 

Kini, memang sudah ada pergeseran. Menurut Hananto, sebelumnya penerjemahan dokumen peraturan perundang-undangan dilakukan oleh penerjemah lepas, baik yang bersumpah maupun tidak; juga dilakukan penerjemah internal yang bekerja pada kantor hukum, perusahaan atau agensi penerjemah. Kini, para penerjemah fungsional pemerintah sudah mulai melakukan penerjemahan dokumen peraturan perundang-undangan. Meskipun, yang diterjemahkan umumnya yang bersifat strategis, penting untuk pembangunan, dan berdampak luas pada bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik Indonesia. “Idealnya, terjemahan resmi dokumen peraturan perundang-undangan disediakan oleh pemerintah,” jelas Hananto dalam pernyataan tertulis menjawab pertanyaan hukumonline.

 

Para penerjemah di Indonesia kini memiliki organisasi bernama Himpinan Penerjemah Indonesia. Organisasi ini memiliki sekitar 2500 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia. Tetapi sebagian besar anggota berdomisili di Ibukota. Ke depan, kata Hananto, akan dibentuk komisariat HPI di daerah mengingat peran penerjemah semakin besar di masa mendatang. HPI juga ingin ada tes sertifikasi nasional untuk penerjemah dan juru bahasa. “HPI sebagai organisasi para penerjemah profesional siap membantu upaya tersebut,” kata Hananto.

 

Baca juga:

 

Permenkumham

Ketentuan terbaru tentang penerjemah di Indonesia adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 04 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah. Sebelumnya, sudah terbit pula Permenkumham No. 13 Tahun 2018 tentang Penerjemahan Resmi Peraturan Perundang-Undangan.

 

Keberadaan para penerjemah di Indonesia sebenarnya sudah diakui sejak zaman Hindia Belanda, sebagaimana terbukti dari pengaturan mereka dalam Staatblad Tahun 1859 No. 69 tentang Sumpah Para Penerjemah, dan Staatblad Tahun 1894 No. 16 tentang Para Penerjemah.

 

Dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), keberadaan penerjemah juga disinggung sebagai bagian dari proses persidangan. Pasal 53 KUHAP menyebutkan bahwa dalam pemeriksaan tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak setiap waktu berhak mendapat bantuan juru bahasa.

 

Pasal 177 KUHAP menyebutkan jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Dalam hal seseorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara, ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu. Bahkan KUHAP sudah lebih maju mengakui ‘penerjemah’ bahasa isyarat bagi terdakwa atau saksi yang mengalami disabilitas.

 

Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 13 Tahun 2018 telah mengatur penerjemahan resmi  perundang-undangan Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Dengan kata lain, penerjemahan resmi peraturan perundang-undangan ada di tangah pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM. Jika ada pihak yang membutuhkan terjemahan resmi peraturan perundang-undangan, pihak tersebut mengajukan permohonan disertai urgensi penerjemahan.

 

Permohonan penerjemahan belum tentu diterima. Jika menurut penilaian Dirjen Peraturan Perundang-Undangan urgensi penerjemahan tidak memenuhi syarat, pihak yang memohon diminta memenuhi persyaratan. Jika memenuhi syarat, Dirjen akan membentuk tim penerjemahan. Anggota tim ini antara lain adalah pejabat fungsional penerjemah.

 

Peraturan Menkumham No. 04 Tahun 2019 mengatur antara lain persyaratan untuk dapat diangkat menjadi penerjemah tersumpah. Penerjemah tersumpah adalah orang atau individu yang mempunyai keahlian dalam menghasilkan terjemahan, yang telah diangkat sumpah oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dan terdaftar pada kementerian dimaksud.

 

Jika dilihat dari Peraturan Menkumham No. 04 Tahun 2019 ini seorang yang berstatus sebagai advokat tidak dapat diangkat jadi penerjemah tersumpah. Demikian juga pegawai negeri, pejabat negara atau memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap. Seseorang dapat diangkat jadi penerjemah jika telah lulus ujian kualifikasi penerjemah yang diselenggarakan Lembaga Sertifikasi Profesi yang dibentuk organisasi profesi atau perguruan tinggi. Jika belum ada lembaga sertifikasi dimaksud, ujian dilaksanakan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

 

Hananto mengatakan Peraturan Menteri menghendaki HPI atau perguruan tinggi membentuk lembaga sertifikasi profesi (LSP) lebih dahulu dengan memenuhi segala syarat dan ketentuan yang ditetapkan BNSP agar dapat menyelenggarakan ujian kualifikasi penerjemah tersumpah. “Ini hal baru bagi HPI dan perguruan tinggi. Saat ini, HPI belum memiliki LSP,” jelasnya kepada hukumonline

 

Perundang-undangan menggunakan istilah ‘penerjemah’ dan ‘juru bahasa’. Lembaga Bahasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pernah menggelar pelatihan tentang masalah ini, dan diikuti hukumonline. Dalam pelatihan itu, Inanti Pinintakasih, seorang juru bahasa professional dan pendiri Asosiasi Juru Bahasa Konferensi Indonesia menjelaskan bahwa penerjemah dan juru bahasa adalah orang yang memiliki keahlian melakukan alih bahasa. Namun keduanya memiliki perbedaan. Penerjemah (translator) merujuk pada seseorang yang ahli mengalihkan bahasa secara lisan, semisal penerjemah dalam konferensi internasional. Sedangkan juru bahasa (interpreter) ahli dalam alih bahasa lewat tulisan.

Tags:

Berita Terkait