Penundaan Pemilu Serentak 2024 melalui Putusan Pengadilan Negeri
Kolom

Penundaan Pemilu Serentak 2024 melalui Putusan Pengadilan Negeri

Selain melawan beberapa pasal di dalam konstitusi dan UU Pemilu, putusan tersebut juga tidak sesuai dengan ketentuan pada Perma No. 2 Tahun 2019.

Bacaan 4 Menit
Hemi Lavour Febrinandez. Foto: Istimewa
Hemi Lavour Febrinandez. Foto: Istimewa

Ketika pelbagai elemen masyarakat tengah berjibaku mempertahankan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak Tahun 2024 agar dapat berjalan secara demokratis dan tepat waktu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat malah menghentak publik melalui sebuah putusan yang secara langsung bertentangan dengan konstitusi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku tergugat melalui Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst diperintahkan untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang dua tahun, empat bulan, dan tujuh hari. Artinya, seluruh tahapan Pemilu Serentak 2024 yang telah dilaksanakan dianggap batal oleh putusan tersebut.

Secara langsung, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut telah bertentangan dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 terkait dengan asas penyelenggaraan pemilihan umum dan pelaksanaannya yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Perintah serupa juga terdapat pada Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Konstitusi secara jelas telah memberikan aturan yang jelas agar penyelenggaraan pemilihan umum harus diselenggarakan setiap lima tahun sekali.

Munculnya pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden merupakan salah satu manifestasi dari tuntutan reformasi agar terdapat aturan yang lebih jelas dan demokratis terkait dengan transisi kekuasaan eksekutif serta legislatif. Pengaturan konstitusional itu tidak terlepas dari upaya untuk mencegah kembali terulangnya kekuasaan absolut seorang penguasa yang pernah terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Namun, nilai tersebut tampaknya telah terciderai oleh salah satu putusan pengadilan yang secara langsung mengkhianati demokrasi dan konstitusi.

Baca juga:

Selain melanggar UUD 1945, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) juga tidak memberikan ruang bagi pihak manapun untuk melakukan penundaan penyelenggaraan pemilihan umum. UU Pemilu hanya mengenal Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan ketika terjadi suatu keadaan luar biasa seperti kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan di sebagian atau seluruh wilayah Indonesia.

Namun mekanisme untuk melakukan Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan juga terbilang tidak mudah. Pihak yang diberikan kewenangan untuk melakukan penetapan penundaan pemilihan umum berdasarkan Pasal 433 UU Pemilu adalah KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi. Bahkan ketika pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan di 40% jumlah provinsi dan 50% dari jumlah pemilih yang terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU.

Majelis hakim yang menangani perkara tersebut seharusnya memahami bahwa dengan mengeluarkan perintah yang mengakibatkan tertundanya penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024, terdapat pengabaian terhadap ketentuan pada UUD 1945 dan UU Pemilu. Tidak mungkin seorang hakim alpa mempertimbangkan ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam memutus sebuah perkara di pengadilan negeri.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait