Saya ingin menanyakan, apakah ada UU/PP yang mengatur tentang cuti suami yang bisa diambil oleh pekerja laki-laki/ayah untuk mengasuh anak, jika pekerja itu orang tua tunggal? Adakah cuti-cuti yang berkaitan dengan pengasuhan anak oleh pekerja laki-laki, jika misalnya istri melahirkan, dan sebagainya? Mohon jawabannya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya, cuti yang wajib diberikan kepada pekerja yaitu cuti tahunan, yang jumlahnya paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.
Selain itu, untuk pekerja perempuan, dikenal juga adanya cuti haid dan cuti melahirkan. Lalu, bagaimana dengan pekerja laki-laki? Adakah cuti suami khusus?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Adakah Cuti Mengasuh Anak untuk Pekerja Pria? yang yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 10 Mei 2012, kemudian dimutakhirkan pertama kali pada Kamis, 29 Juli 2021.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Menjawab pertanyaan cuti untuk suami, pada dasarnya, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja sesuai bunyi Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Adapun cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.[1]
Selain hak cuti tahunan tersebut, ada pula sejumlah cuti wajib yang diatur dalam perundang-undang. Cuti-cuti yang dimaksud ini dikhususkan bagi pekerja perempuan, yakni cuti haid dan cuti melahirkan.
Terkait cuti haid, pekerja perempuan tidak diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid apabila merasakan sakit.[3] Kemudian, cuti melahirkan yang waktu istirahatnya diberikan sebelum dan setelah melahirkan.[4]
Lalu bagaimana dengan cuti suami atau cuti untuk pekerja pria? Dapat kami sampaikan bahwa cuti suami dapat diberikan jika istrinya melahirkan atau keguguran. Adapun aturannya pekerja yang bersangkutan dibolehkan untuk tidak masuk bekerja, dan pengusaha tetap wajib membayar upahnya[5] untuk selama 2 hari.[6]
Dengan demikian, kami menyimpulkan, bahwa cuti untuk suami saat ini adalah hanya sebatas cuti suami menemani istri melahirkan. Adapun jumlah hari cuti suami saat istri melahirkan ini adalah selama dua hari.
Kemudian, jika suami atau pekerja laki-laki tersebut hendak mengasuh anaknya, pekerja yang bersangkutan dapat mengambil hak cuti tahunannya.
Menjawab pertanyaan Anda, ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia memang belum mengatur secara khusus hak cuti suami yang hendak mengasuh anaknya.
Di sejumlah negara lain, seperti di Jepang misalnya, terdapat Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga yang mengatur tentang hak pekerja di Jepang, baik pria maupun perempuan, untuk mendapatkan cuti untuk mengasuh anak dan merawat keluarga.[7]
Selain peraturan cuti tersebut, pemerintah Jepang juga memberi keleluasaan kepada ayah yang mengambil cuti selama 8 minggu setelah kelahiran pasangannya untuk mengambil cuti kembali tanpa pengecualian.[8]
Alasan pekerja pria juga mendapatkan cuti mengasuh anak adalah karena kegiatan mengasuh anak dan bekerja secara bersamaan bukan hal yang mudah, sehingga ibu memerlukan seorang partner dalam mengasuh anak. Sebab saat ini sistem keluarga Jepang adalah keluarga nuklir Jepang yang minim anggota keluarga, pihak yang dapat membantu peran ibu hanya ayah atau suaminya.[9]
Demikian jawaban dari kami terkait cuti suami sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.
Fidy Ramzielah. Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak untuk Mengatasi Shoushika Mondai di Jepang Ditinjau dari Faktor Sosial Budaya. Japanology, Vol. 1, No. 1, September 2012 – Februari 2013.
[7] Fidy Ramzielah. Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak untuk Mengatasi Shoushika Mondai di Jepang Ditinjau dari Faktor Sosial Budaya. Japanology, Vol. 1, No. 1, September 2012 – Februari 2013, hal. 13
[8] Fidy Ramzielah. Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak untuk Mengatasi Shoushika Mondai di Jepang Ditinjau dari Faktor Sosial Budaya. Japanology, Vol. 1, No. 1, September 2012 – Februari 2013, hal. 16
[9] Fidy Ramzielah. Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak untuk Mengatasi Shoushika Mondai di Jepang Ditinjau dari Faktor Sosial Budaya. Japanology, Vol. 1, No. 1, September 2012 – Februari 2013, hal. 18