Anak saya usia 15 tahun pernah operasi di salah satu RS di Bali atas penyakit getah bening di leher (pembengkakan di leher). Namun setelah sekitar sebulan pasca operasi suara anak saya tidak normal, alias serak. Dan pihak RS mengatakan sekitar 1 bulan suaranya normal, namun sampai saat ini belum normal. Langkah hukum apa yang bisa saya ambil jika ingin menggugat pihak RS? Terima kasih.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pada prinsipnya, hubungan hukum antara dokter dengan pasien disebut hubungan kesepakatan terapeutik/perikatan terapeutik yang melahirkan aspek hukum inspanning verbintenis, yakni ikhtiar sebaik-baiknya sesuai standar yang berlaku. Hal tersebut mengingat, objek transaksi tersebut adalah upaya penyembuhan yang hasilnya tidak pasti.
Hubungan tersebut melahirkan serangkaian hak dan kewajiban, di antaranya yakni dokter wajib melakukan tindakan kedokteran atas persetujuan yang diberikan pihak yang berhak (pasien/keluarganya) setelah yang bersangkutan mendapatkan penjelasan (informed consent). Selain itu, dokter juga wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran, yang meliputi standar profesi dan standar prosedur operasional.
Jika kewajiban tersebut dilanggar dan mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pasien, apa saja upaya hukum yang bisa dilakukan?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada 14 Agustus 2014.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, mari kita pahami terlebih dahulu bagaimana hubungan hukum antara dokter dengan pasien dan pasien dengan rumah sakit.
Hubungan Hukum Dokter dan Pasien
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”), rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan disebut dengan praktik kedokteran.
Praktik kedokteran tersebut diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.[1]
Dalam hal ini, hubungan yang terjadi antara dokter dan pasien merupakan hubungan kesepakatan terapeutik / perikatan terapeutik, sebagaimana dijelaskan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia:
Sejak permulaan sejarah yang tersurat mengenai umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut hubungan kesepakatan terapeutik antara dokter dan penderita (pasien) yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai (konfidensial) serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan, dan kekhawatiran makhluk insani.
Masih mengenai hubungan dokter dan pasien, dalam buku Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan: Edisi 2 (hal. 133) diterangkan bahwa hubungan dokter dan pasien melahirkan aspek hukum inspanning verbintenis, yakni ikhtiar sebaik-baiknya sesuai standar yang berlaku. Sebab, objek transaksi tersebut adalah upaya penyembuhan yang hasilnya tidak pasti. Upaya tersebut dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan ketegangan (met zorg en inspanning), dan bukan merupakan resultaats verbintenis (hal.136).
Dalam menjalankan praktik kedokteran, dokter wajib, di antaranya:
Mengikuti standar pelayanan kedokteran, yakni pedoman yang harus diikuti oleh dokter dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.[2] Standar yang harus diikuti tersebut meliputi standar profesi dan standar prosedur operasional.[3] Selain itu, pemberian layanan juga diberikan sesuai kebutuhan medis pasien.[4]
Mendapatkan persetujuan atas setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh dokter.[5] Persetujuan itu diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap atau yang dikenal pula dengan istilah informed consent, yang sekurang-kurangnya mencakup:[6]
Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
Alternatif tindakan lain dan risikonya;
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Patut diperhatikan, setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi, seperti tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya, harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang berhak memberikan persetujuan.[7]
Lalu, siapakah yang berhak memberikan persetujuan? Pada prinsipnya, yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan. Tapi, jika pasien berada di bawah pengampuan, anak-anak, atau orang yang tidak sadar, maka penjelasan dapat diberikan kepada keluarganya.[8]
Terkait persetujuan tersebut, Pasal 52 huruf d UU Praktik Kedokteran dan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) menegaskan bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian/seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Akan tetapi, hak tersebut tidak berlaku pada:[9]
Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
Gangguan mental berat.
Di sisi lain, dokter berhak di antaranya memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan:[10]
Standar profesi, yakni batasan kemampuan (knowledge, skill, and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi; dan
Standar prosedur operasional, yakni suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar ini memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.
Hubungan Hukum Pasien dan Rumah Sakit
Mengutip dari buku yang kami sebutkan sebelumnya, hubungan hukum yang timbul antara pasien dengan rumah sakit dapat dibedakan menjadi (hal.136):
Perjanjian perawatan, dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dengan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan perawat melakukan tindakan perawatan (nursery science);
Perjanjian pelayanan medis, dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis (medical science).
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam hal anak Anda mendapat tindakan operasi untuk mengatasi pembengkakan kelenjar getah bening, secara hukum telah terjadi hubungan hukum dokter dengan pasien dan pasien dengan rumah sakit.
Konsekuensinya, dokter wajib menjalankan tindakan medis atas persetujuan pihak yang berhak memberikannya setelah menandatangani informed consent dan wajib melakukan tindakan sesuai dengan standar pelayanan kedokteran.
Upaya Hukum
Dalam hal Anda merasa dirugikan atas tindakan medis yang diduga terdapat kesalahan/kelalaian dokter yang tidak menjalankan kewajibannya sesuai standar yang berlaku, terdapat beberapa upaya hukum yang dapat Anda lakukan, yaitu:
Mengadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (“MKDKI”)
Pertama-tama, Anda dapat mengadukan perbuatan dokter yang diduga melanggar disiplin kedokteran kepada Ketua MKDKI secara tertulis, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran:
Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan
alasan pengaduan.
Patut diperhatikan, pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.[12]
Dalam hal dokter yang bersangkutan berdasarkan putusan MKDKI dinyatakan bersalah melanggar disiplin kedokteran, dalam hal ini yaitu tidak melakukan tindakan medis sesuai dengan standar profesi dan/atau standar prosedur operasional, yang mengakibatkan Anda mengalami kerugian, maka Anda dapat menuntut ganti kerugian kepada dokter dan rumah sakit yang bersangkutan.
Patut diperhatikan, yang dapat dituntut ganti rugi hanyalah tindakan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterima pasien.[13] Ini berarti, Anda sebagai pihak yang akan melakukan tuntutan ganti rugi, harus membuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian dalam tindakan yang dilakukan oleh dokter tersebut.
Melaporkan ke pihak kepolisian
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, pengaduan ke MKDKI tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana.
Namun demikian, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muh. Arif Setiawan, dalam artikel IDI Berharap Pasal Pidana Tak Berlaku Bagi Dokter, menerangkan bahwa pelaporan dugaan tindak pidana itu harus terlebih dahulu menunggu proses penyelesaian di MKDKI. Sebab, proses penegakan hukum pidana harus mutlak ada bukti berupa putusan MKDKI yang menyatakan dokter bersalah melakukan pelanggaran disiplin profesi. Nantinya, putusan MKDKI tersebut dapat menjadi rekomendasi bagi pengadilan dalam menjatuhkan putusannya.
Adapun ketentuan pidana yang berpotensi dikenakan di antaranya yaitu Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat. Namun, perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa unsur-unsur pidana dalam pasal terkait telah terpenuhi.
Contoh Kasus
Sebagai contoh, kami mengutip kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor. 417/Pdt.G/2012/PN Mdn. Dalam perkara ini pengadilan menghukum dokter dan rumah sakit untuk membayar ganti rugi karena dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa operasi pengangkatan rahim tanpa terlebih dahulu melakukan tindakan kuretase yang mengakibatkan pasien mengalami gangguan pada kantong kemih (hal. 46, 50).
Melihat pada putusan di atas, ini berarti bahwa Anda bisa saja menggugat dokter dan/atau rumah sakit yang menangani anak Anda, sepanjang Anda dapat membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan dokter tersebut tidak sesuai prosedur dan mengakibatkan kerugian pada pasien.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.