Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pernah dipublikasikan pada Rabu, 06 November 2013.
Intisari:
Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan kewenangan mengambil tindakan hukum adalah kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan.
Pihak yang dapat melakukan tindakan pemilikan adalah pihak yang mempunyai hak atas tanah tersebut. Oleh karena tanah tersebut dimiliki oleh 3 (tiga) orang dan (diasumsikan) tidak ada pembagian secara jelas dalam sertifikat hak atas tanah, serta yang akan dijaminkan adalah hak atas tanah tersebut sebagai satu kesatuan, bukan bagian masing-masing para pihak, maka yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum atas tanah tersebut adalah ketiga-tiganya secara bersama-sama.
Penjelasan lebih lanjut silakan simak ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
klinik Terkait :
Dalam hal ini karena yang dijaminkan adalah tanah, maka tanah tersebut dijaminkan dengan hak tanggungan.
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UUHT”), pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum berarti pemberi hak tanggungan adalah pihak yang dapat bertindak bebas atas tanah tersebut.
Menurut J. Satrio, S.H., dalam bukunya Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I (hal. 249-250), melakukan perbuatan hukum atau tindakan hukum merupakan tindakan yang bisa meliputi bidang yang sangat luas, bisa meliputi tindakan-tindakan pengurusan (beheer) maupun tindakan-tindakan pemilikan (beschikking).
Rekomendasi Berita :
Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindakan pengurusan (beheer) adalah tindakan mempertahankan suatu kekayaan atau membuat suatu kekayaan memberikan suatu hasil, termasuk menguangkan kekayaan itu sesuai dengan tujuannya. Sedangkan tindakan pemilikan (beschikking) merupakan tindakan yang membawa (atau bisa membawa) akibat perubahan, tanpa ada keharusan untuk melakukan tindakan tersebut, perubahan itu bisa berupa bertambah atau bahkan berkurangnya suatu kekayaan atau bagian kekayaan tertentu, seperti tindakan menjual, menghibahkan, menukarkan, atau membebani.
Menurut J. Satrio, S.H., tindakan membebani termasuk dalam tindakan pemilikan, karena tindakan tersebut bisa merupakan suatu tindakan permulaan, yang berakhir dengan hilang/hapusnya hak atas benda jaminan yang bersangkutan sebagai bagian dari kekayaan seseorang. Jadi, yang dimaksud dengan kewenangan mengambil tindakan hukum dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT adalah kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan.[1]
Pihak yang dapat melakukan tindakan pemilikan adalah pihak yang mempunyai hak atas tanah tersebut.
Kami beranggapan maksud dari pernyataan ‘tanah tersebut dimiliki oleh 3 (tiga) orang’ adalah ketiga nama orang tersebut tercantum dalam sertifikat hak atas tanah sebagai pemilik tanah. Selain itu, kami berasumsi juga dalam sertifikat tersebut tidak diberikan kepada setiap orang dengan menyebutkan besarnya bagian masing-masing orang sebagaimana terdapat dalam Pasal 31 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Oleh karena tanah tersebut dimiliki oleh 3 (tiga) orang dan tidak ada pembagian secara jelas dalam sertifikat hak atas tanah, serta yang akan dijaminkan adalah hak atas tanah tersebut sebagai satu kesatuan, bukan bagian masing-masing para pihak, maka yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum atas tanah tersebut adalah ketiga-tiganya secara bersama-sama.
Ini berarti, tidak dapat diletakkan jaminan hak tanggungan di atas tanah tersebut oleh satu orang saja. Kecuali kedua orang yang lain telah memberikan surat kuasa khusus kepada satu orang tersebut untuk bertindak untuk dan atas nama mereka untuk menjaminkan tanah tersebut.
Karena pemberian hak tanggungan dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), maka sebagaimana dikatakan dalam Pasal 101 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria 3/1997”), jika dalam pemberian hak tanggungan tersebut, 2 (dua) orang pemegang hak atas tanah yang lain tidak dapat hadir, maka perbuatan hukum tersebut dapat dilakukan oleh orang yang dikuasakan oleh pemegang hak atas tanah dengan surat kuasa tertulis.
Pasal 101 ayat (1) Permen Agraria 3/1997:
Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun kuasa untuk melakukan tindakan hukum yang berhubungan dengan hak atas tanah yang dapat mengakibatkan hilang atau hapusnya hak seseorang atas tanah tersebut, menggunakan surat kuasa dalam bentuk akta notaris. Ini karena akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Dan dengan digunakannya akta notaris, berarti jelas bahwa pemegang hak atas tanah yang tidak dapat hadir pada saat pemberian hak tanggungan, memang datang dan memberikan kuasanya di depan notaris dan disaksikan oleh para saksi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Referensi:
J. Satrio. 1997. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.