Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Langkah Hukum Jika Karyawan Menolak Surat Peringatan

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Langkah Hukum Jika Karyawan Menolak Surat Peringatan

Langkah Hukum Jika Karyawan Menolak Surat Peringatan
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Langkah Hukum Jika Karyawan Menolak Surat Peringatan

PERTANYAAN

Apakah sanksi yang akan diterima jika satu pihak tidak bersedia menerima surat somasi yang telah dikirimkan ke alamat sesuai KTP dan jelas telah terjadi pelanggaran dalam perjanjian kerja yang telah disetujui bersama?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Kami asumsikan bahwa surat somasi yang Anda maksud merupakan surat peringatan (“SP”) yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh yang melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
     
    Jika pekerja/buruh menolak SP tersebut, hal ini berpotensi menimbulkan perselisihan hak, yang harus diselesaikan melalui perundingan bipartit terlebih dahulu. Jika perundingan bipartit menemui jalan buntu, salah satu atau kedua belah pihak dapat melapor kepada instansi terkait agar dilakukan mediasi.
     
    Lalu, bagaimana jika mediasi juga tidak membuahkan hasil?
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama yang dipublikasikan pada Jumat, 17 Januari 2020.
     
    Pemberian Surat Peringatan
    Sebelumnya, kami asumsikan bahwa perjanjian kerja yang Anda maksud merujuk pada Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), yaitu perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Dari perjanjian kerja tersebut lahirlah suatu hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.[1]
     
    Berkenaan dengan pertanyaan Anda, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) mengatur bahwa salah satu alasan dapat terjadinya pemutusan hubungan kerja (“PHK”) adalah pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan (“SP”) pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[2]
     
    Kami asumsikan bahwa surat somasi yang Anda maksud merupakan SP tersebut. Sebagaimana diuraikan dalam artikel Apakah Somasi Itu?, somasi memang dapat diartikan sebagai peringatan atau teguran agar seseorang melaksanakan prestasi tertentu.
     
    Seperti yang telah kami jelaskan di atas, masing-masing SP berlaku untuk paling lama 6 bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Sehingga, masa berlaku SP bisa jadi lebih singkat atau lebih lama dari 6 bulan.
     
    Sebagaimana diterangkan dalam artikel Pemberian Surat Peringatan dalam Jangka Waktu Berdekatan, yang dimaksud dengan masa berlaku SP adalah dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan diberikan SP pertama, kemudian dalam tenggang waktu 6 bulan pekerja kembali melakukan pelanggaran, pengusaha dapat menerbitkan SP kedua, yang juga mempunyai masa berlaku 6 bulan.
     
    Begitu pula selanjutnya jika masih melakukan pelanggaran, pengusaha dapat menerbitkan SP ketiga (terakhir) yang berlaku 6 bulan. Jika pekerja/buruh dalam kurun waktu SP ketiga tersebut kembali melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka hal ini dapat dijadikan sebagai alasan terjadinya PHK.
     
    Namun, jika jangka waktu 6 bulan sejak diterbitkannya SP pertama sudah terlampaui dan pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan pelanggaran kembali, SP yang diterbitkan kembali menjadi SP pertama. Demikian pula berlaku bagi SP kedua dan ketiga.
     
    Langkah Penyelesaian
    Pemberian sanksi terhadap penolakan SP pada dasarnya tergantung pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang berlaku di dalam perusahaan.
     
    Sayangnya Anda tidak menjelaskan apa alasan dari penolakan tersebut. Namun berdasarkan uraian yang Anda sampaikan, dapat diasumsikan bahwa dengan menolak SP berarti pekerja tersebut tidak memperbaiki kesalahannya, sehingga Anda dapat kembali mengeluarkan SP kedua hingga ketiga.
     
    Pada dasarnya, tidak ada larangan untuk mengeluarkan SP dalam waktu berdekatan. Hal ini juga pernah kami jelaskan dalam artikel Pemberian Surat Peringatan dalam Jangka Waktu Berdekatan.
     
    Apabila surat peringatan tersebut berujung pada PHK, Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur:
     
    Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
     
    Akan tetapi, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK, dan jika tidak bisa dihindarkan, maksud dan alasan PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh.[3]
     
    Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak PHK, penyelesaian PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.[4] Jika perundingan bipartit gagal, PHK dilakukan
    melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.[5]
     
    Selain itu, jika penolakan SP oleh pekerja/buruh disebabkan karena perbedaan penafsiran perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, berarti telah terjadi perselisihan hak, yang penyelesaiannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”).
     
    Menurut Pasal 1 angka 2 UU 2/2004, perselisihan hak adalah:
     
    Perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
     
    Perselisihan tersebut wajib diupayakan penyelesaiannya melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat terlebih dahulu, yang mana perundingan tersebut harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Namun jika dalam jangka waktu 30 hari, salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.[6]
     
    Dalam hal perundingan bipartit gagal, salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa perundingan bipartit telah dilakukan. Apabila bukti-bukti tidak dilampirkan, maka instansi terkait mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.[7]
     
    Pasca perundingan bipartit, penyelesaian perselisihan hak dilakukan melalui mediasi melalui mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.[8] Jika penyelesaian melalui mediasi gagal, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[9]
     
    Patut dicatat, selama penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.[10] Namun, pengusaha dapat menskorsing pekerja/buruh yang sedang dalam proses PHK dengan tetap membayar upah dan hak lainnya yang biasa diterimanya.[11]
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
     

    [1] Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan
    [2] Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf k UU Ketenagakerjaan
    [3] Pasal 81 angka 37 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan
    [4] Pasal 81 angka 37 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
    [5] Pasal 81 angka 37 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
    [6] Pasal 3 UU 2/2004
    [7] Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU 2/2004
    [8] Penjelasan Umum angka 6 jo. Pasal 8 UU 2/2004
    [9] Pasal 5 UU 2/2004
    [10] Pasal 81 angka 46 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 157A ayat (1) UU Ketenagakerjaan
    [11] Pasal 81 angka 46 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 157A ayat (2) UU Ketenagakerjaan

    Tags

    sp3
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!