9 Tantangan Pelaksanaan UU TPKS
Terbaru

9 Tantangan Pelaksanaan UU TPKS

Antara lain aparat penegak hukum belum memahami unsur-unsur tindak pidana dalam UU TPKS, kesulitan mencari keterangan ahli, hingga sarana dan prasarana serta biaya operasional.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi. Foto: Medsos IG Siti
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi. Foto: Medsos IG Siti

Terbitnya UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) membawa harapan baru bagi penanganan kasus tindak pidana kekerasan seksual. Beleid itu diharapkan dapat mencegah terjadinya TPKS sekaligus menjerat pelaku serta fokus pada pemulihan korban. Sayangnya, genap setahun sejak terbit 9 Mei 2022 pelaksanaan UU 12/2022 masih menghadapi berbagai tantangan.

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Siti Aminah Tardi, mencatat sedikitnya ada 9 tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan UU 12/2022. Pertama, UU TPKS belum disosialisasikan secara baik kepada seluruh aparat penegak hukum. Siti mengatakan peran aparat penegak hukum sangat penting untuk melaksanakan ketentuan UU TPKS. Minimnya sosialisasi itu membuat aparat masih menggunakan aturan selain UU TPKS dalam menangani perkara kekerasan dan pelecehan seksual seperti KUHP. Kedua, aparat penegak hukum belum memahami unsur-unsur pidana dalam UU 12/2022.

“Aparat penegak hukum belum mendapat sosialisasi yang baik tentang UU TPKS,” katanya dalam diskusi bertema Peringatan Satu Tahun UU TPKS, Kamis (11/05/2023) kemarin.

Baca juga:

Ketiga, kesulitan mencari keterangan ahli. Siti menilai para ahli dan pakar seperti dari kalangan akademisi perlu waktu yang cukup untuk memahami ketentuan UU 12/2022. Bahkan Komnas Perempuan kerap diminta menjadi ahli dalam sejumlah kasus TPKS yang ditangani aparat. Keempat, kesulitan pembuktian ilmiah yang lama dan mahal. Kelima, ada perbedaan pemahaman dan tafsir soal unsur tindak pidana antar aparat penegak hukum misalnya jaksa penuntut umum (JPU) sehingga berkas perkara dikembalikan.

Siti memberikan contoh dalam kasus kekerasan seksual di Jombang, para pengikutnya menghalangi proses penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian sehingga mereka dijerat pasal obstruction of justice sebagaimana diatur Pasal 19 UU 12/2022 dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun. Tapi di tingkat pengadilan majelis hakim malah menggunakan KUHP dan ujungnya para pelaku itu divonis 5 bulan penjara.

“Jadi ada perbedaan pemahaman antara aparat penegak hukum dalam kasus ini antara polisi dan jaksa sudah menggunakan UU TPKS tapi ternyata majelis hakimnya tidak,” ujarnya.

Keenam, mekanisme pendampingan korban/saksi. Ketujuh, mekanisme perlindungan korban/saksi dan restitusi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kedelapan, pendampingan yang belum membangun pemberdayaan hukum korban. Kesembilan, sarana dan prasarana serta biaya operasional.

Tags:

Berita Terkait