Balada Ganti Kelamin di Pengadilan, Tak Semudah Harapan
Feature

Balada Ganti Kelamin di Pengadilan, Tak Semudah Harapan

Tiap kasus bisa berbeda-beda. Kepentingan pemohon dan alasan hukum pemohon yang harus jadi pertimbangan hukum utama bagi hakim yang memiliki ideologi hukum masing-masing.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 6 Menit

Pada tahun 1978, Soekotjo juga meminta pengesahan statusnya menjadi perempuan dan berganti nama menjadi Henriette Soekotjo. Pengadilan kembali mengabulkan dengan mengikuti sikap hakim dalam perkara Vivian Rubianti. Lalu, pada tahun 1980, seorang selebritas legendaris Indonesia “terlahir” hasil penetapan ganti kelamin yang dikabulkan Pengadilan Negeri Surabaya. Semula ia adalah laki-laki bernama Dedi Yuliardi Ashadi lalu menjadi perempuan bernama Dorce Ashadi yang populer sebagai Dorce Gamalama. Jadi, wajar jika Sahrul yakin betul permohonannya akan dikabulkan.

Rupanya Sahrul bernasib beda. Hakim Ramon Wahyudi justru menetapkan menolak permohonan Sahrul. Padahal, Sahrul sudah mengajukan pertimbangan yuridis mulai dari hukum administrasi kependudukan hingga Hak Asasi Manusia (HAM). Permohonannya antara lain mengatakan, “Bahwa dari sudut pandang yuridis merujuk kepada UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 3 ayat (2) UU HAM menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.

Di luar dugaan, pertimbangan terbesar yang terlihat dari penetapan Hakim Ramon saat itu adalah pandangan dari agama yang dianut pemohon. Tertuang dalam Penetapan No. 54/Pdt.P/2017/PN.DPK. bahwa Hakim Ramon menyatakan, “Menimbang, bahwa pemohon beragama Islam, sehingga kami akan mempertimbangkan aturan agama apakah dibolehkan atau dihalalkan perbuatan pemohon tersebut”. Sikap Ramon ini bukan tanpa dasar. “Mahkamah Agung belum punya patokan untuk perkara ganti kelamin harus seperti apa, diserahkan kepada tiap hakim,” kata Hakim Ramon kepada Hukumonline.

Alhasil, Hakim Ramon mantap merujuk pada ketentuan hukum Islam yang mengharamkan pergantian jenis kelamin. Sederet dasar hukum Islam dalam teks hadits dan kitab suci Al-Quran, bahkan fatwa ulama diuraikan Hakim Ramon. Lebih jauh, Hakim Ramon menilai argumentasi Hak Asasi Manusia yang diajukan pemohon kalah kuat dari ikatan hukum agama yang dianutnya.

Berikut petikan langsung dari isi penetapan Hakim Ramon, “Menimbang, bahwa tentang Hak azasi manusia sebagai mana didalilkan oleh pemohon dalam positanya, perlu dipertimbankan sebagai berikut : dalam UU HAM, HAM diartikan sebagai perangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 butir 1);

Menimbang, bahwa dari uraian diatas maka Hak Asasi Manusia selagi tidak bertetangan dengan Tuhan Yang Maha Esa dapat diakomodir sesuai juga dengan konsideran menimbang diawal UU HAM tersebut, dimana manusia harus menjaga harkat, martabat, dan kemuliaannya yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Bila dihubungkan dengan  posita pemohon, maka kami berpendapat pemohon tidak dapat menjaga harkat, martabat dan kemuliaan manusia dengan mengubah ciptaan Tuhan dalam hal ini merubah kelamin, sehingga posita pemohon dengan berlindung pada Hak Asasi Manusia haruslah  dikesampingkan karena bertenganan dengan fitrah manusia yang telah diciptakan oleh Tuhan yang maha Esa;

Menimbang, bahwa norma hukum, norma agama, bertujuan supaya manusia hidup teratur dan martabat sebagaimana yang telah di fitrahkan oleh Allah SWT, sehingga berdasarkan uraian, maka demi kepastian hukum dan keadilan alasan permohonan ini bertentangan  dengan hukum dan hukum agama, sehingga permohon pemohon haruslah ditolak seluruhnya”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait