Balada Ganti Kelamin di Pengadilan, Tak Semudah Harapan
Feature

Balada Ganti Kelamin di Pengadilan, Tak Semudah Harapan

Tiap kasus bisa berbeda-beda. Kepentingan pemohon dan alasan hukum pemohon yang harus jadi pertimbangan hukum utama bagi hakim yang memiliki ideologi hukum masing-masing.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 6 Menit

Ada 27 penetapan ganti kelamin yang pernah Hukumonline himpun. Hampir semua hakim tunggal yang yang menjatuhkan penetapan menyebut secara langsung soal fakta kekosongan norma hukum positif.

Hukumonline.com

Dokumen penetapan paling lama yang Hukumonline telaah dibacakan tanggal 27 September 2012 dalam Penetapan No.517/Pdt.P/2012/PN YK oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta. Hakim pada permohonan itu mengatakan, “Menimbang, bahwa oleh karena perubahan status hukum dari seorang laki-laki menjadi perempuan belum ada pengaturannya dalam hukum, namun mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat, khususnya dalam bidang ilmu kedokteran serta peradaban dunia yang semakin maju, maka dalam merespon hal tersebut Pengadilan berkewajiban menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa Keadilan yang hidup dalam masyarakat, guna menemukan hukum-hukumnya, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan kepatutan serta betul-betul didukung oleh alasan dan kepentingan hukum yang kuat…”. Masih di penetapan yang sama, hakim juga menambahkan kalimat, “Mengingat: akan pasal-pasal dari HIR, Hukum Adat serta ketentuan hukum lain yang bersangkutan”.

Pertimbangan soal kekosongan hukum semacam itu masih disebutkan dalam ketetapan paling baru yang Hukumonline baca. Penetapan No. 57/Pdt.P/2020/PN.JKT.Pst yang dibacakan pada tanggal 20 Mei 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyebutkan, “Menimbang, bahwa aspek hukum sampai saat ini tidak ada Undang-Undang Pengesahan Penggantian Kelamin di negara kita dan melarang secara tegas juga tidak ada;”.

Aspek Hukum Perdata dan Hukum Kesehatan

Pakar Hukum Kesehatan Universitas Indonesia, Djarot Dimas Achmad Andaru mengatakan ada dua kemungkinan alasan ganti kelamin. Alasan pertama ialah adanya indikasi medis, sebaliknya alasan kedua tanpa indikasi medis. Indikasi medis yang Djarot jelaskan ialah gangguan kesehatan fisik, seperti pengidap kelainan alat kelamin ganda secara biologis.

“Untuk alasan tanpa indikasi medis biasanya punya masalah mental berkaitan kehidupannya secara sosial,” kata Djarot.

Djarot menilai tidak ada perdebatan hukum jika berkaitan alasan pertama. Hal itu karena cukup mencocokkan secara medis organ kelamin dalam tubuh pengidap dengan alat kelaminnya. Namun, alasan ganti kelamin tanpa indikasi medis mengundang perdebatan akademik. “Ini sama seperti perdebatan boleh atau tidak melakukan aborsi,” kata Djarot.

Penting pula ditinjau dampak pergantian kelamin pada kesehatan. “Kemendesakan macam apa yang akan berakibat buruk apa pada kesehatan yang ingin ganti kelamin,” ujarnya. Lebih dari itu, Djarot mengingatkan pergantian alat kelamin tidak mungkin dianggap bisa sepenuhnya sama dengan jenis kelamin bawaan lahir.

Tags:

Berita Terkait