Intisari:
Jika perusahaan tetap melakukan PHK karena alasan pekerja menikah dengan teman satu kantor maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Jika perusahaan tetap melakukan PHK yang mengakibatakan adanya perselisihan antara Anda dan perusahaan maka langkah hukum yang dapat ditempuh adalah sebagaimana yang akan kami jelaskan berikut ini. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Menikah Dengan Teman Satu Kantor
Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Itu artinya, sejak adanya Putusan MK 13/2017, pengusaha tidak boleh melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) dengan alasan ikatan perkawinan. Atau dengan kata lain, pengusaha dilarang memberlakukan larangan pernikahan antar sesama pekerja dalam suatu perusahaan. Apabila tertuang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan tidak berlaku.
Mengenai larangan melakukan PHK karena adanya ikatan perkawinan, dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi (“MK”) mengatakan bahwa pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan. Oleh karena itu, menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas pekerjaan serta hak untuk membentuk keluarga, adalah tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional.
Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
memutus pembubaran partai politik
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Dalam
Jurnal Mahkamah Konstitusi (hal. 81-82) tentang
Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat dijelaskan bahwa secara harafiah, putusan MK yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frase “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dari rangkaian pemeriksaan”, sedangkan frase mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harafiah ini maka
frase final dan
frase mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya akhir dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi.
Masih bersumber dari laman yang sama, makna harafiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan MK artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Lebih lanjut disebutkan bahwa Putusan MK memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap semua komponen bangsa termasuk obyek yang disengketa.
Itu artinya putusan MK terhadap pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review) bersifat final dan mengikat.
Langkah Hukum Jika Perusahaan Tidak Menaati Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebelum menjawab pertanyaan Anda kami asumsikan bahwa Perusahaan (Badan Usaha Milik Daerah – “BUMD”) tempat Anda bekerja tidak memperbolehkan Anda menikah dengan teman satu kantor. Sehubungan dengan pertanyaan Anda yang menanyakan apa yang dapat Anda lakukan, kami berasumsi bahwa jika Anda tetap menikah dengan teman sekantor Anda, maka salah satunya akan di-PHK.
Perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 74
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah, Pegawai BUMD merupakan pekerja BUMD yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak, dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketenagakerjaan. Ini berarti ketentuan UU Ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksananya berlaku bagi pegawai BUMD.
Dalam konteks pertanyaan Anda, berdasarkan Putusan MK 13/2017 tersebut PT.X sebagai Bank BUMD harusnya tidak boleh melakukan PHK pada Anda jika Anda menikah dengan teman satu kantor karena Putusan MK 13/2017 bersifat mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap masyarakat termasuk pengusaha/perusahaan.
Hal senada juga disampaikan dalam artikel
Buruh Boleh Menikah dengan Rekan Sekantor, Poin-Poin Ini yang Perlu Diperhatikan, Mantan Hakim
ad hoc PHI Jakarta periode 2006-2016, Juanda Pangaribuan, menilai Putusan MK 13/2017 terkait Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan sudah selayaknya begitu karena menikah adalah hak asasi setiap orang. Perusahaan yang melarang pekerjanya menikah dengan teman kerjanya merupakan bentuk pembatasan terhadap perjodohan dan sumber rejekinya. Putusan MK itu bisa langsung dilaksanakan karena sifatnya mengikat dan tidak ada persoalan teknis yang menghambat.
Menurut Juanda langkah yang perlu dilakukan pengusaha dalam menyikapi putusan tersebut yakni tidak menjalankan aturan yang melarang pekerja menikah atau memiliki pertalian darah dengan rekan kerja di satu perusahaan. Jika ketentuan itu sudah tercantum dalam perjanjian kerja, demi hukum itu tidak berlaku lagi sejak MK membacakan putusan tersebut. Jika ketentuan itu diatur dalam Peraturan Perusahaan (“PP”) atau Perjanjian Kerja Bersama (”PKB”), maka tidak perlu dijalankan. Saat PP atau PKB itu direvisi, putusan MK itu harus dimasukkan dalam amandemen.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Juanda, pengusaha juga perlu mengatur agar pasangan pekerja yang menikah itu tidak dalam satu divisi yang sama. Pemindahan pekerja ke divisi lain itu dilakukan dengan memperhatikan keterampilan, kemampuan, dan latar belakang pendidikan pekerja. Tapi jangan pula dipindahkan pada jabatan yang tingkatnya lebih rendah, misalnya dari akuntan menjadi office boy.
Ini berarti, perusahaan (BUMD) tempat Anda bekerja tidak bisa tidak mau menjalankan Putusan MK 13/2017 karena putusan tersebut sifatnya final dan mengikat bagi seluruh masyarakat.
Jika perusahaan tetap tidak mau menjalankan Putusan MK 13/2017 dan melakukan PHK kepada Anda jika Anda menikah dengan teman sekantor Anda, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
[1]
Jika perusahaan tetap melakukan PHK yang mengakibatkan adanya perselisihan antara Anda dan perusahaan maka langkah hukum yang dapat ditempuh adalah sebagaimana yang akan kami jelaskan berikut ini.
Langkah Hukum Jika Terkena PHK
Perselisihan PHK adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
[3]
Terkait PHK, Pasal 151 UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pekerja dan pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Kalaupun PHK tak bisa dihindari, pekerja dan pengusaha harus berunding untuk mencari kesepakatan. Kalau perundingan itu masih tidak menemukan kata mufakat, maka PHK baru bisa dilakukan setelah ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Jika Anda tetap di-PHK dan Anda tidak sepakat dengan PHK yang dilakukan oleh perusahan, perlu diingat bahwa perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui
perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
[4] Apabila dalam jangka waktu 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
[5]
Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
[6] Untuk perselisihan PHK, penyelesaian secara tripartit yang dapat dilakukan adalah melalui mediasi atau konsiliasi.
Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
[8]
Jika Mediasi atau Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
[9]
Perlu diketahui bahwa terhadap PHK yang dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, PHK tersebut menjadi batal demi hukum. Artinya, PHK itu dianggap sama sekali tidak pernah ada jika tanpa persetujuan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
[10]
Jadi menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan Putusan MK 13/2017 tersebut PT.X sebagai Bank BUMD tersebut harusnya tidak boleh tidak mematuhi Putusan MK 13/2017 dan melakukan PHK pada Anda jika Anda menikah dengan teman satu kantor. Jika perusahaan tetap melakukan PHK karena alasan pekerja menikah dengan teman satu kantor maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Jika perusahaan tetap melakukan PHK yang mengakibatkan adanya perselisihan antara Anda dan perusahaan maka langkah hukum yang dapat ditempuh sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Putusan:
Referensi:
[1]Pasal 153 ayat (2) jo. Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 2 huruf c UU 2/2004
[3] Pasal 1 angka 4 UU 2/2004
[4] Pasal 3 ayat (1) UU 2/2004
[5] Pasal 3 ayat (3) UU 2/2004
[6] Pasal 4 ayat (1) UU 2/2004
[7] Pasal 1 angka 11 UU 2/2004
[8] Pasal 1 angka 13 UU 2/2004
[10] Pasal 155 ayat (1) jo. Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan